Senin, 23 Maret 2009
EL NINO DAN LA NINA
PENDAHULUAN
Berdasarkan data meteorologi dan klimatologi dapat ditarik kesimpulan bahwa frekwensi munculnya El Nino dan La Nina pada dekade terakhir ini ternyata lebih sering dibandingkan dengan dekade yang lampau. Dampak yang ditimbulkan dengan adanya El Nino dan La Nina adalah terjadinya penyimpangan iklim yang berakibat kemarau panjang dan bencana kekeringan atau sebaliknya banjir akibat besarnya intensitas curah hujan.
Untuk mengantisipasi bencana penyimpangan iklim tersebut sangat diperlukan teknologi modifikasi cuaca. Namun pada kenyataannya dalam menerapkan teknologi modifikasi cuaca tersebut ternyata banyak sekali ditemukannya permasalahan yang harus selalu dikaji terus menerus misalnya tentang jenis dan ukuran bahan semai, sistem penyemaian dan kriteria awan yang akan disemai.
Teknologi modifikasi cuaca, yang sudah sering dilakukan di Indonesia adalah yang bertujuan untuk menambah intensitas curah hujan dan lebih dikenal dengan istilah Hujan Buatan. Sejak tahun 1979 kegiatan hujan buatan sudah dilaksanakan lebih dari 40 kali operasional baik yang bersifat penelitian maupun pelayanan, namun bila ditinjau dari hasil evaluasi ternyata volume air hujan yang dihasilkan bervariasi. Hal ini disebabkan karena variabel-variabel yang mempengaruhi proses hujan sangat banyak dan rumit. Oleh sebab itu sampai saat ini masih terus dilakukan pengkajian tentang fenomena perawanan, hujan, cuaca dan iklim yang dilengkapi dengan sarana yang lebih modern dan akurat misalnya dengan memanfaatkan teknologi inderaja hujan seperti citra satelit GMS-5 dan radar cuaca.
Dari citra satelit GMS-5 dapat dimanfaatkan untuk menganalisa tutupan awan, jenis awan serta perkembangan pertumbuhan awan baik dalam skala global maupun lokal. Sedangkan dari citra yang tampak di layar monitor radar dapat dianalisa tentang profil distribusi dan ukuran butir hujan secara vertikal di atmosfer.
Untuk mendeteksi keberadaan awan di daerah sasaran yang biasanya berupa Daerah Aliran Sungai (DAS), pada waktu yang lalu adalah dengan menempatkan beberapa pos meteorologi yang berfungsi untuk menginformasikan kondisi cuaca, pertumbuhan dan perkembangan awan. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka informasi kondisi awan tersebut dilakukan juga dengan melalui teknologi inderaja awan dan hujan yang pada kenyataannya justru perkembangannya lebih pesat dari pada perkembangan teknologi modifikasi cuaca itu sendiri.
Pada bulan-bulan belakangan ini orang mulai mengantisipasi datangnya si gadis cilik La Nina yang diprakirakan akan menurunkan hujan lebat dan menimbulkan banjir di kawasan tertentu di Indonesia. Apa itu La Nina dan bagaimana hubungannya dengan El Nino, "saudara kembarnya" yang tak kalah bikin ulah?
Ketika terjadi kebakaran hutan besar-besaran di Kalimantan dan Sumatera tempo hari, yang "mengekspor" jerebu alias asap ke negara-negara tetangga, El Nino disebut-sebut sebagai biang keladinya. El Nino alias si Buyung ini memang gejala alam global yang suka menyebar petaka kekeringan di berbagai kawasan garis khatulistiwa, termasuk Indonesia. Menurut WMO (Badan Meteorologi Dunia), si Buyung yang bertingkah pada tahun 1997 hingga awal 1998 itu merupakan yang terhebat sepanjang abad ini.
Namun, El Nino tak selalu membawa kekeringan. Terkadang juga melahirkan hujan badai. Pada tahun 1983, misalnya, pantai barat Amerika Utara banjir dan Kepulauan Galapagos, di lepas pantai Ekuador, dilanda hujan 8,5 kali lebih banyak dari biasa.
Dijuluki El Nino (bocah lelaki) karena biasanya (tapi tidak selalu) ia muncul sebagai "Anak Natal" yang manis menjelang akhir tahun di Ekuador dan Peru.
Gejala alam global yang satu ini sebuah anomali (menyimpang dari kebiasaan) yang merupakan hasil interaksi antara kondisi permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Pasifik sekitar garis khatulistiwa (tropis). Interaksi itu menghasilkan tekanan tinggi di Pasifik bagian timur yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke barat. Karena angin ini mendorong air di depannya macam bajak imajiner, permukaan laut di sekitar Indonesia dan Australia terangkat kira-kira setengah meter lebih tinggi ketimbang air di lepas pantai Peru. Ketika tekanan turun dan pertukaran angin berkurang, air bergerak kembali menuju ke timur.
Aliran ke arah timur ini merupakan pusat kegiatan fisik yang mengendalikan El Nino. Pengadukan ini mendorong terbentuknya gelombang sepanjang samudera itu, mirip riak di permukaan kolam. Gelombang ini pada gilirannya menekan thermocline, suatu lapisan air yang merupakan batas antara massa air yang lebih hangat di bawah permukaan laut dengan air lebih dingin di bawahnya. Ketika thermocline ini masuk lebih dalam, suhu permukaan air laut meningkat dan El Nino pun berlangsung. Karena itu pula si Buyung sering disebut fase panas.
ini pada gilirannya menekan thermocline, suatu lapisan air yang merupakan batas antara massa air yang lebih hangat di bawah permukaan laut dengan air lebih dingin di bawahnya. Ketika thermocline ini masuk lebih dalam, suhu permukaan air laut meningkat dan El Nino pun berlangsung. Karena itu pula si Buyung sering disebut fase panas.
Jadi, perubahan-perubahan samudera itu mempengaruhi atmosfer dan pola iklim dunia. Pada gilirannya, perubahan atmosfer itu mempengaruhi suhu dan arus laut. Begitu seterusnya, melalui proses fisika yang rumit sistem interaksi itu menghasilkan fase panas (El Nino), fase normal, dan fase dingin. Yang terakhir inilah yang disebut sebagai La Nina alias si Upik.
Meski sifatnya berlawanan dengan El Nino, tapi La Nina ditakuti juga. Karena sifatnya yang dingin itu, perilakunya juga menghasilkan bencana. Di beberapa wilayah, termasuk Indonesia, curah hujannya berlebihan, hingga menimbulkan banjir, tanah longsor, bahkan hujan badai
Data suhu lautan dari satelit menunjukkan datang dan perginya El Nino. Warna merah dan putih menampakkan air hangat dan biru mewakili air dingin. Bidang warna biru yang luas di Pasifik ekuator di dalam gambar terbaru mungkin mengindikasikan bakal mulainya La Nina.yang bisa memporakporandakan apa saja. Menurut prakiraan, pada musim penghujan akhir 1998 dan awal tahun 1999, La Nina bakal tampil lagi dan beberapa wilayah Indonesia akan merasakan dampak kehadirannya.
Untuk Indonesia, seperti sudah kita ketahui, El-Nino ini akan berdampak pada terjadinya musim hujan yang kering, alias jarang terjadi hujan. Dampak positifnya, untuk penduduk di Jakarta dan juga daerah lain pelanggan setia banjir, mereka bisa sedikit bernafas lega karena kemungkinan untuk terjadinya banjir akan berkurang. Hanya saja perlu hati-hati juga dengan dampak negatifnya, yaitu kekeringan dan kekurangan air. Apalagi kalau ternyata signal El-Ninonya semakin menguat.
Pergerakan tekanan atmosfer
La Nina bukanlah sosok wanita yang punya kekuataan dahsyat macam tokoh Maeve dalam film seri televisi The New Adventure of Sinbad. Ia adalah kondisi alam yang ditandai dengan menurunnya temperatur permukaan laut di wilayah Pasifik ekuator atau tropis hingga di bawah normal yang diikuti dengan munculnya tiupan angin pasat yang kencang di kawasan itu.
Di Pasifik ekuator, air hangat El Nino tiba-tiba bisa berganti dingin. Jika kondisi ini berkembang menjadi La Nina, iklim yang bakal terjadi di seluruh dunia pada musim dingin ini terlihat pada gambar ini.
Sementara El Nino ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan air laut di wilayah yang sama. Jadi, "panggung pertunjukan" keduanya sama-sama di Pasifik ekuator. Mereka tampil bergantian. Namun, penampilannya sama-sama membuat beberapa tempat di bumi ini terkadang menderita.
Menurut Dr. Paulus Agus Winarso, kepala bagian Prakiraan dan Jasa Meteorologi, Badan Meteorologi dan Geofisika, Departemen Perhubungan, gejala alam La Nina sudah ada sejak berabad-abad lalu. "Pada tahun 1988 - 1989 juga pernah terjadi La Nina," jelasnya.
Kapan La Nina atau El Nino akan unjuk gigi sulit diprakirakan. Namun, upaya untuk mempertepat prakiraan bakal terjadinya gejala alam itu dilakukan para ilmuwan dengan mengumpulkan data sejak 1920-an, saat pakar meteorologi Inggris Sir Gilbert Walker mengaitkan pergerakan tekanan atmosfer di atas Pasifik dengan kegagalan musim hujan di India yang mengerikan 50 tahun sebelumnya. Di tahun 1960-an, pakar meteorologi UCLA Jacob Bjerknes menyatakan El Nino terbentuk oleh pergerakan yang sama dalam hal tekanan atmosfer.
Riak-riak ini dapat mencapai ribuan kilometer panjangnya, tapi karena bergerak 30 m atau lebih di bawah permukaan, sulit dideteksi secara langsung. Maka ilmuwan menggunakan satelit untuk mengamati gerak mengombak tak kelihatan di dalam laut, yang dihasilkan saat riak-riak itu lewat. Itulah mengapa ahli kelautan NASA Anthony Busalacchi dapat melihat gerombolan gelombang bawah laut mulai menyeberangi Pasifik ke arah pantai Peru pada awal tahun 1997. Dia memantau gelombang itu saat menghempas ke dalam dasar benua, kemudian pecah, berbelok ke arah selatan menuju Cili dan utara ke arah Alaska.
Air hangat yang dihasilkan riak yang bergerak ke selatan itu menimbulkan gelombang panas, yang membuat penduduk Santiago berduyun-duyun ke pinggir pantai pada pertengahan musim dingin. Sementara gelombang yang bergerak ke utara memicu peningkatan suhu samudera di luar Pantai Barat AS yang tajam. Kondisi ini menarik bagi jenis-jenis ikan tropis seperti marlin untuk datang di perairan yang selalu dingin ini, sehingga menyenangkan pencinta olahraga memancing. "Karena hangat, banyak plankton berada di sana, sehingga banyak ikan lari ke sana. Nelayan sangat gembira karena banyak ikannya," tambah Paulus.
Pada saat itu di sana banyak turun hujan dan sebaliknya di Indonesia mengalami kekeringan. "El Nino 1997 merupakan El Nino paling hebat di abad ini, yang menyebabkan mundurnya awal musim hujan hingga awal tahun 1998," ungkap pakar prakiraan cuaca ini.
Gelombang-gelombang di bawah permukaan laut ternyata tak cuma mengungkapkan asal dan perjalanan El Nino. Gelombang-gelombang itu juga menjelaskan bagaimana El Nino berakhir. Ketika gelombang pertama menghantam pantai Amerika Selatan, sebagian memantul kembali. Ketika gelombang yang dipantulkan itu mendekati Asia, mereka memantul lagi. Tapi pantulan ganda ini memberi pengaruh terbalik. Tak mampu menekan thermocline, gelombang yang dipantulkan kedua kali ini sekarang naik. Air dingin menggantikan cairan yang lebih hangat di permukaannya, menyebabkan temperatur turun di Pasifik sebelah timur dan penurunan ini diketahui sebagai La Nina.
Terasa pada musim kemarau
Menurut Paulus, kemungkinan lain dari proses terjadinya El Nino dan La Nina adalah adanya kegiatan di bumi ini yang belum diketahui. "Sampai sekarang belum ada pengamatan. Kemungkinan ada gerakan-gerakan vulkanik dan tektonik di sini (Pasifik ekuator). Gerakan-gerakan itu ‘kan mengeluarkan energi yang menyebabkan adanya variasi El Nino dan La Nina. Ini hipotesis saya. Selain itu ada pula pengaruh matahari. Jadi, eksternalnya dari matahari, internalnya dari bumi. Bagaimana terjadinya faktor endogennya dari bumi, perlu diteliti. Karena kemampuan manusia terbatas, sampai sekarang belum bisa diketahui penyebabnya, kita cuma memantau saja," jelasnya.
Karena energi matahari tidak selalu konstan, maka skenario terjadinya El Nino dan La Nina juga tidak pernah sama, baik intensitas, dampak, maupun luasannya. Sekadar contoh, pada tahun 1960 - 1970 terjadi lima kali El Nino. Artinya, setiap dua tahun terjadi El Nino. Pada tahun 1970 - 1980 terjadi tiga kali, tahun 1980 - 1990 dua kali, dan tahun 1990 - sekarang sudah terjadi tiga kali dengan intensitas makin parah. Kehadiran El Nino dan La Nina di kawasan Samudera Pasifik tropis sangat bisa dirasakan pada musim kemarau. Pada saat La Nina tampil, suhu permukaan laut di wilayah Indonesia menghangat sehingga banyak terjadi penguapan dan pembentukan awan. Hujan pun banyak turun di wilayah ini seperti yang terjadi pada Mei 1998 lalu. Sebaliknya, kalau El Nino yang tampil, kemarau menjadi berkepanjangan seperti pada tahun 1997 lalu.
Menurut Paulus, bila La Nina muncul pada musim hujan, sebenarnya tak perlu terlalu dirisaukan. "Kalau hujan turun di musim hujan mau diapain. Justru yang menjadi masalah kalau hujan terjadi pada musim kemarau. Kalau terjadi pada musim hujan ‘kan orang sudah siap-siap (menghadapi kemungkinan banjir)," tuturnya. Bila La Nina terjadi pada musim hujan pun curah hujan tak terlalu terpengaruh. "Biasa. (Curah hujannya) tidak sampai 200 mm/detik/m2 (1 mm/detik/m2 = 1 l air hujan - Red.).
Contohnya, pada Februari 1996, setelah dievaluasi curah hujannya tak jauh dari normalnya. Pada 9 - 10 Februari itu tercatat 400-an mm/detik/m2. Tapi sebelumnya tak ada hujan. Karena itu, yang justru harus diantisipasi adalah kalau tidak ada hujan pada waktu-waktu yang seharusnya terjadi puncak hujan, yakni pada bulan Desember sampai awal Maret. Nantinya, (dikhawatirkan) akan terjadi lonjakan hujan yang terkonsentrasi."
Di Indonesia, puncak hujan di daerah-daerah tertentu berbeda-beda. Di daerah-daerah ekuator atau katulistiwa, tidak dikenal musim kemarau atau musim penghujan. Sepanjang tahun secara normal hujannya cukup banyak. Puncaknya terjadi pada bulan-bulan Maret - April atau September - Oktober. "Saat ini di sana, di Sumatera bagian tengah dan di Kalimantan bagian tengah, sedang banyak hujan. Ini normal, tidak ada kaitannya dengan La Nina," jelasnya ketika dihubungi akhir September 1998. Indonesia bagian timur diprakirakan musim hujannya mulai pada bulan Desember. Indonesia bagian barat mulai pada bulan September.
Pasangan gejala alam itu juga tak selalu berdampak pada pergeseran musim. "Kalau sekarang sudah mulai masuk musim hujan, ya, saya lihat tidak ada pergeseran musim. Awal tahun ini memang ada. Musim kemaraunya agak mundur karena El Nino tahun 1997 menyebabkan awal musim hujannya mundur sampai awal 1998. Jarang sekali terjadi El Nino seperti tahun 1997 itu. El Nino tahun 1997 terhebat di abad ini. Sementara La Ninanya, kalau dilihat dari keseimbangan energinya, sama saja."
Perlu memantau prakiraan cuaca
Pada tahun ini, tanda-tanda datangnya La Nina sudah tercium sejak pertengahan tahun. Dalam tulisannya di harian Kompas, 23 Agustus 1998, Paulus mengungkapkan, dari evaluasi curah hujan bulanan Mei dan Juni 1998, terlihat kecenderungan sifat curah hujan di atas normal yang makin meluas ke berbagai daerah. Curah hujan yang tinggi di kawasan Indonesia bagian selatan (Jawa hingga Nusa Tenggara) merupakan kondisi yang menyimpang dari kondisi normalnya. Soalnya, daerah ini pada bulan Juni umumnya mengalami kurang hujan atau mendekati puncak musim kemarau.
Menurut Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika, Sri Diharto, seperti dikutip surat kabar itu pada edisi yang sama, dari data yang menunjukkan tekanan udara di Tahiti lebih tinggi dan di Darwin lebih rendah dari rata-rata, sementara suhu muka laut di Pasifik timur mendingin di bawah rata-rata dan di bagian barat serta perairan Indonesia 1 - 2oC di atas rata-rata, maka peluang terjadinya La Nina mencapai 60%. Dampak yang mungkin terjadi dengan munculnya anomali cuaca ini adalah musim hujan yang lebih awal dari rata-rata di beberapa wilayah. Curah hujan di musim kemarau lalu dan musim hujan ini akan cenderung normal dan di atas normal.
Sementara di Jakarta, umumnya banjir terjadi pada bulan Januari dan Februari pada saat puncak curah hujan. Namun, dengan adanya pengaruh La Nina pada musim hujan ini, Sri Diharto memprakirakan ancaman banjir kemungkinan terjadi sekitar Desember dan Januari 1998.
Sementara, beberapa ilmuwan, seperti dikutip Time, 20 April 1998, menyatakan pada 1998 dapat disaksikan La Nina yang kuat luar biasa, dan Asia sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi dampak buruknya. Di Indonesia, para pakar meteorologi percaya, ketika hujan sangat lebat jatuh ke tanah hutan yang hangus terbakar, hujan itu dapat mengakibatkan banjir dalam waktu singkat, erosi tanah, dan penipisan jumlah ikan saat abu beracun merembes ke sungai, danau, serta laut.
Bagi masyarakat, cara terbaik mengantisipasi kehadiran La Nina adalah dengan memanfaatkan informasi prakiraan cuaca untuk jangka pendek (jam-jaman hingga harian) dan prakiraan iklim (mingguan, puluhan hari/dasarian, bulanan dan musiman/tahunan). "Biasanya prakiraan jangka pendek lebih tepat. Prakiraan untuk besok biasanya lebih tepat daripada minggu depan. Saya sendiri memprakirakan untuk bulan depan, tidak tahu. Kalau kecenderungannya, saya bisa," aku Paulus.
El Nino dan La Nina
Fenomena alam ini cukup menjadi perbincangan beberapa tahun terakhir. Beberapa bencana alam dalam rentang area yang luas banyak disebut disebabkan ulah fenomena ini. El Nino dan La Nina sesungguhnya adalah kondisi abnormal iklim pada area Samudra Pasifik yang terletak pada daerah ekuatorial. Kedua gejala alam ini mempunyai kondisi anomali yang berbeda, El Nino dicirikan dengan naiknya suhu permukaan laut (warm phase) sedangkan La Nina mempunyai kondisi yang sebaliknya yaitu turunnya suhu permukaan air laut (cold phase) pada area katulistiwa Samudra Pasifik.
El Nino dan La Nina sendiri baru dimasukkan kedalam istilah bahasa ilmiah pada tahun 1997, dalam bahasa asli (Amerika Selatan) La Nina berarti si gadis kecil sedangkan El Nino berarti si buyung kecil. Sesungguhnya fenomena ini sudah berjalan dalam waktu yang panjang, tetapi baru dapat diidentifikasi dalam beberapa tahun terakhir. Selama kurun 78 tahun telah terjadi 23 kali gejala El Nino dan 15 kali La Nina. El Nino sendiri terjadi dengan selang antara 3 sampai 7 tahun.
Dampak yang ditimbulkan oleh anomali alam ini memang cukup luar biasa dalam rentang area yang luas antara lain kekeringan, kekurangan pangan dan banjir. Beberapa bencana kekeringan dan banjir yang terjadi di Indonesia juga disebabkan oleh El Nino atau La Nina. Akan tetapi penelitian lebih lanjut menemukan bahwa tidak semua anomali ini menimbulkan dampak negatif. Sebuah riset menunjukkan bahwa El Nino menurunkan intensitas dan jumlah badai Atlantik dan tornado yang melintasi bagian tengah Amerika Serikat. (edy yuvera:nationalgegraphic dan internet source)
Berdasarkan data meteorologi dan klimatologi dapat ditarik kesimpulan bahwa frekwensi munculnya El Nino dan La Nina pada dekade terakhir ini ternyata lebih sering dibandingkan dengan dekade yang lampau. Dampak yang ditimbulkan dengan adanya El Nino dan La Nina adalah terjadinya penyimpangan iklim yang berakibat kemarau panjang dan bencana kekeringan atau sebaliknya banjir akibat besarnya intensitas curah hujan.
Untuk mengantisipasi bencana penyimpangan iklim tersebut sangat diperlukan teknologi modifikasi cuaca. Namun pada kenyataannya dalam menerapkan teknologi modifikasi cuaca tersebut ternyata banyak sekali ditemukannya permasalahan yang harus selalu dikaji terus menerus misalnya tentang jenis dan ukuran bahan semai, sistem penyemaian dan kriteria awan yang akan disemai.
Teknologi modifikasi cuaca, yang sudah sering dilakukan di Indonesia adalah yang bertujuan untuk menambah intensitas curah hujan dan lebih dikenal dengan istilah Hujan Buatan. Sejak tahun 1979 kegiatan hujan buatan sudah dilaksanakan lebih dari 40 kali operasional baik yang bersifat penelitian maupun pelayanan, namun bila ditinjau dari hasil evaluasi ternyata volume air hujan yang dihasilkan bervariasi. Hal ini disebabkan karena variabel-variabel yang mempengaruhi proses hujan sangat banyak dan rumit. Oleh sebab itu sampai saat ini masih terus dilakukan pengkajian tentang fenomena perawanan, hujan, cuaca dan iklim yang dilengkapi dengan sarana yang lebih modern dan akurat misalnya dengan memanfaatkan teknologi inderaja hujan seperti citra satelit GMS-5 dan radar cuaca.
Dari citra satelit GMS-5 dapat dimanfaatkan untuk menganalisa tutupan awan, jenis awan serta perkembangan pertumbuhan awan baik dalam skala global maupun lokal. Sedangkan dari citra yang tampak di layar monitor radar dapat dianalisa tentang profil distribusi dan ukuran butir hujan secara vertikal di atmosfer.
Untuk mendeteksi keberadaan awan di daerah sasaran yang biasanya berupa Daerah Aliran Sungai (DAS), pada waktu yang lalu adalah dengan menempatkan beberapa pos meteorologi yang berfungsi untuk menginformasikan kondisi cuaca, pertumbuhan dan perkembangan awan. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka informasi kondisi awan tersebut dilakukan juga dengan melalui teknologi inderaja awan dan hujan yang pada kenyataannya justru perkembangannya lebih pesat dari pada perkembangan teknologi modifikasi cuaca itu sendiri.
Pada bulan-bulan belakangan ini orang mulai mengantisipasi datangnya si gadis cilik La Nina yang diprakirakan akan menurunkan hujan lebat dan menimbulkan banjir di kawasan tertentu di Indonesia. Apa itu La Nina dan bagaimana hubungannya dengan El Nino, "saudara kembarnya" yang tak kalah bikin ulah?
Ketika terjadi kebakaran hutan besar-besaran di Kalimantan dan Sumatera tempo hari, yang "mengekspor" jerebu alias asap ke negara-negara tetangga, El Nino disebut-sebut sebagai biang keladinya. El Nino alias si Buyung ini memang gejala alam global yang suka menyebar petaka kekeringan di berbagai kawasan garis khatulistiwa, termasuk Indonesia. Menurut WMO (Badan Meteorologi Dunia), si Buyung yang bertingkah pada tahun 1997 hingga awal 1998 itu merupakan yang terhebat sepanjang abad ini.
Namun, El Nino tak selalu membawa kekeringan. Terkadang juga melahirkan hujan badai. Pada tahun 1983, misalnya, pantai barat Amerika Utara banjir dan Kepulauan Galapagos, di lepas pantai Ekuador, dilanda hujan 8,5 kali lebih banyak dari biasa.
Dijuluki El Nino (bocah lelaki) karena biasanya (tapi tidak selalu) ia muncul sebagai "Anak Natal" yang manis menjelang akhir tahun di Ekuador dan Peru.
Gejala alam global yang satu ini sebuah anomali (menyimpang dari kebiasaan) yang merupakan hasil interaksi antara kondisi permukaan samudera dan atmosfer di kawasan Pasifik sekitar garis khatulistiwa (tropis). Interaksi itu menghasilkan tekanan tinggi di Pasifik bagian timur yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke barat. Karena angin ini mendorong air di depannya macam bajak imajiner, permukaan laut di sekitar Indonesia dan Australia terangkat kira-kira setengah meter lebih tinggi ketimbang air di lepas pantai Peru. Ketika tekanan turun dan pertukaran angin berkurang, air bergerak kembali menuju ke timur.
Aliran ke arah timur ini merupakan pusat kegiatan fisik yang mengendalikan El Nino. Pengadukan ini mendorong terbentuknya gelombang sepanjang samudera itu, mirip riak di permukaan kolam. Gelombang ini pada gilirannya menekan thermocline, suatu lapisan air yang merupakan batas antara massa air yang lebih hangat di bawah permukaan laut dengan air lebih dingin di bawahnya. Ketika thermocline ini masuk lebih dalam, suhu permukaan air laut meningkat dan El Nino pun berlangsung. Karena itu pula si Buyung sering disebut fase panas.
ini pada gilirannya menekan thermocline, suatu lapisan air yang merupakan batas antara massa air yang lebih hangat di bawah permukaan laut dengan air lebih dingin di bawahnya. Ketika thermocline ini masuk lebih dalam, suhu permukaan air laut meningkat dan El Nino pun berlangsung. Karena itu pula si Buyung sering disebut fase panas.
Jadi, perubahan-perubahan samudera itu mempengaruhi atmosfer dan pola iklim dunia. Pada gilirannya, perubahan atmosfer itu mempengaruhi suhu dan arus laut. Begitu seterusnya, melalui proses fisika yang rumit sistem interaksi itu menghasilkan fase panas (El Nino), fase normal, dan fase dingin. Yang terakhir inilah yang disebut sebagai La Nina alias si Upik.
Meski sifatnya berlawanan dengan El Nino, tapi La Nina ditakuti juga. Karena sifatnya yang dingin itu, perilakunya juga menghasilkan bencana. Di beberapa wilayah, termasuk Indonesia, curah hujannya berlebihan, hingga menimbulkan banjir, tanah longsor, bahkan hujan badai
Data suhu lautan dari satelit menunjukkan datang dan perginya El Nino. Warna merah dan putih menampakkan air hangat dan biru mewakili air dingin. Bidang warna biru yang luas di Pasifik ekuator di dalam gambar terbaru mungkin mengindikasikan bakal mulainya La Nina.yang bisa memporakporandakan apa saja. Menurut prakiraan, pada musim penghujan akhir 1998 dan awal tahun 1999, La Nina bakal tampil lagi dan beberapa wilayah Indonesia akan merasakan dampak kehadirannya.
Untuk Indonesia, seperti sudah kita ketahui, El-Nino ini akan berdampak pada terjadinya musim hujan yang kering, alias jarang terjadi hujan. Dampak positifnya, untuk penduduk di Jakarta dan juga daerah lain pelanggan setia banjir, mereka bisa sedikit bernafas lega karena kemungkinan untuk terjadinya banjir akan berkurang. Hanya saja perlu hati-hati juga dengan dampak negatifnya, yaitu kekeringan dan kekurangan air. Apalagi kalau ternyata signal El-Ninonya semakin menguat.
Pergerakan tekanan atmosfer
La Nina bukanlah sosok wanita yang punya kekuataan dahsyat macam tokoh Maeve dalam film seri televisi The New Adventure of Sinbad. Ia adalah kondisi alam yang ditandai dengan menurunnya temperatur permukaan laut di wilayah Pasifik ekuator atau tropis hingga di bawah normal yang diikuti dengan munculnya tiupan angin pasat yang kencang di kawasan itu.
Di Pasifik ekuator, air hangat El Nino tiba-tiba bisa berganti dingin. Jika kondisi ini berkembang menjadi La Nina, iklim yang bakal terjadi di seluruh dunia pada musim dingin ini terlihat pada gambar ini.
Sementara El Nino ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan air laut di wilayah yang sama. Jadi, "panggung pertunjukan" keduanya sama-sama di Pasifik ekuator. Mereka tampil bergantian. Namun, penampilannya sama-sama membuat beberapa tempat di bumi ini terkadang menderita.
Menurut Dr. Paulus Agus Winarso, kepala bagian Prakiraan dan Jasa Meteorologi, Badan Meteorologi dan Geofisika, Departemen Perhubungan, gejala alam La Nina sudah ada sejak berabad-abad lalu. "Pada tahun 1988 - 1989 juga pernah terjadi La Nina," jelasnya.
Kapan La Nina atau El Nino akan unjuk gigi sulit diprakirakan. Namun, upaya untuk mempertepat prakiraan bakal terjadinya gejala alam itu dilakukan para ilmuwan dengan mengumpulkan data sejak 1920-an, saat pakar meteorologi Inggris Sir Gilbert Walker mengaitkan pergerakan tekanan atmosfer di atas Pasifik dengan kegagalan musim hujan di India yang mengerikan 50 tahun sebelumnya. Di tahun 1960-an, pakar meteorologi UCLA Jacob Bjerknes menyatakan El Nino terbentuk oleh pergerakan yang sama dalam hal tekanan atmosfer.
Riak-riak ini dapat mencapai ribuan kilometer panjangnya, tapi karena bergerak 30 m atau lebih di bawah permukaan, sulit dideteksi secara langsung. Maka ilmuwan menggunakan satelit untuk mengamati gerak mengombak tak kelihatan di dalam laut, yang dihasilkan saat riak-riak itu lewat. Itulah mengapa ahli kelautan NASA Anthony Busalacchi dapat melihat gerombolan gelombang bawah laut mulai menyeberangi Pasifik ke arah pantai Peru pada awal tahun 1997. Dia memantau gelombang itu saat menghempas ke dalam dasar benua, kemudian pecah, berbelok ke arah selatan menuju Cili dan utara ke arah Alaska.
Air hangat yang dihasilkan riak yang bergerak ke selatan itu menimbulkan gelombang panas, yang membuat penduduk Santiago berduyun-duyun ke pinggir pantai pada pertengahan musim dingin. Sementara gelombang yang bergerak ke utara memicu peningkatan suhu samudera di luar Pantai Barat AS yang tajam. Kondisi ini menarik bagi jenis-jenis ikan tropis seperti marlin untuk datang di perairan yang selalu dingin ini, sehingga menyenangkan pencinta olahraga memancing. "Karena hangat, banyak plankton berada di sana, sehingga banyak ikan lari ke sana. Nelayan sangat gembira karena banyak ikannya," tambah Paulus.
Pada saat itu di sana banyak turun hujan dan sebaliknya di Indonesia mengalami kekeringan. "El Nino 1997 merupakan El Nino paling hebat di abad ini, yang menyebabkan mundurnya awal musim hujan hingga awal tahun 1998," ungkap pakar prakiraan cuaca ini.
Gelombang-gelombang di bawah permukaan laut ternyata tak cuma mengungkapkan asal dan perjalanan El Nino. Gelombang-gelombang itu juga menjelaskan bagaimana El Nino berakhir. Ketika gelombang pertama menghantam pantai Amerika Selatan, sebagian memantul kembali. Ketika gelombang yang dipantulkan itu mendekati Asia, mereka memantul lagi. Tapi pantulan ganda ini memberi pengaruh terbalik. Tak mampu menekan thermocline, gelombang yang dipantulkan kedua kali ini sekarang naik. Air dingin menggantikan cairan yang lebih hangat di permukaannya, menyebabkan temperatur turun di Pasifik sebelah timur dan penurunan ini diketahui sebagai La Nina.
Terasa pada musim kemarau
Menurut Paulus, kemungkinan lain dari proses terjadinya El Nino dan La Nina adalah adanya kegiatan di bumi ini yang belum diketahui. "Sampai sekarang belum ada pengamatan. Kemungkinan ada gerakan-gerakan vulkanik dan tektonik di sini (Pasifik ekuator). Gerakan-gerakan itu ‘kan mengeluarkan energi yang menyebabkan adanya variasi El Nino dan La Nina. Ini hipotesis saya. Selain itu ada pula pengaruh matahari. Jadi, eksternalnya dari matahari, internalnya dari bumi. Bagaimana terjadinya faktor endogennya dari bumi, perlu diteliti. Karena kemampuan manusia terbatas, sampai sekarang belum bisa diketahui penyebabnya, kita cuma memantau saja," jelasnya.
Karena energi matahari tidak selalu konstan, maka skenario terjadinya El Nino dan La Nina juga tidak pernah sama, baik intensitas, dampak, maupun luasannya. Sekadar contoh, pada tahun 1960 - 1970 terjadi lima kali El Nino. Artinya, setiap dua tahun terjadi El Nino. Pada tahun 1970 - 1980 terjadi tiga kali, tahun 1980 - 1990 dua kali, dan tahun 1990 - sekarang sudah terjadi tiga kali dengan intensitas makin parah. Kehadiran El Nino dan La Nina di kawasan Samudera Pasifik tropis sangat bisa dirasakan pada musim kemarau. Pada saat La Nina tampil, suhu permukaan laut di wilayah Indonesia menghangat sehingga banyak terjadi penguapan dan pembentukan awan. Hujan pun banyak turun di wilayah ini seperti yang terjadi pada Mei 1998 lalu. Sebaliknya, kalau El Nino yang tampil, kemarau menjadi berkepanjangan seperti pada tahun 1997 lalu.
Menurut Paulus, bila La Nina muncul pada musim hujan, sebenarnya tak perlu terlalu dirisaukan. "Kalau hujan turun di musim hujan mau diapain. Justru yang menjadi masalah kalau hujan terjadi pada musim kemarau. Kalau terjadi pada musim hujan ‘kan orang sudah siap-siap (menghadapi kemungkinan banjir)," tuturnya. Bila La Nina terjadi pada musim hujan pun curah hujan tak terlalu terpengaruh. "Biasa. (Curah hujannya) tidak sampai 200 mm/detik/m2 (1 mm/detik/m2 = 1 l air hujan - Red.).
Contohnya, pada Februari 1996, setelah dievaluasi curah hujannya tak jauh dari normalnya. Pada 9 - 10 Februari itu tercatat 400-an mm/detik/m2. Tapi sebelumnya tak ada hujan. Karena itu, yang justru harus diantisipasi adalah kalau tidak ada hujan pada waktu-waktu yang seharusnya terjadi puncak hujan, yakni pada bulan Desember sampai awal Maret. Nantinya, (dikhawatirkan) akan terjadi lonjakan hujan yang terkonsentrasi."
Di Indonesia, puncak hujan di daerah-daerah tertentu berbeda-beda. Di daerah-daerah ekuator atau katulistiwa, tidak dikenal musim kemarau atau musim penghujan. Sepanjang tahun secara normal hujannya cukup banyak. Puncaknya terjadi pada bulan-bulan Maret - April atau September - Oktober. "Saat ini di sana, di Sumatera bagian tengah dan di Kalimantan bagian tengah, sedang banyak hujan. Ini normal, tidak ada kaitannya dengan La Nina," jelasnya ketika dihubungi akhir September 1998. Indonesia bagian timur diprakirakan musim hujannya mulai pada bulan Desember. Indonesia bagian barat mulai pada bulan September.
Pasangan gejala alam itu juga tak selalu berdampak pada pergeseran musim. "Kalau sekarang sudah mulai masuk musim hujan, ya, saya lihat tidak ada pergeseran musim. Awal tahun ini memang ada. Musim kemaraunya agak mundur karena El Nino tahun 1997 menyebabkan awal musim hujannya mundur sampai awal 1998. Jarang sekali terjadi El Nino seperti tahun 1997 itu. El Nino tahun 1997 terhebat di abad ini. Sementara La Ninanya, kalau dilihat dari keseimbangan energinya, sama saja."
Perlu memantau prakiraan cuaca
Pada tahun ini, tanda-tanda datangnya La Nina sudah tercium sejak pertengahan tahun. Dalam tulisannya di harian Kompas, 23 Agustus 1998, Paulus mengungkapkan, dari evaluasi curah hujan bulanan Mei dan Juni 1998, terlihat kecenderungan sifat curah hujan di atas normal yang makin meluas ke berbagai daerah. Curah hujan yang tinggi di kawasan Indonesia bagian selatan (Jawa hingga Nusa Tenggara) merupakan kondisi yang menyimpang dari kondisi normalnya. Soalnya, daerah ini pada bulan Juni umumnya mengalami kurang hujan atau mendekati puncak musim kemarau.
Menurut Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika, Sri Diharto, seperti dikutip surat kabar itu pada edisi yang sama, dari data yang menunjukkan tekanan udara di Tahiti lebih tinggi dan di Darwin lebih rendah dari rata-rata, sementara suhu muka laut di Pasifik timur mendingin di bawah rata-rata dan di bagian barat serta perairan Indonesia 1 - 2oC di atas rata-rata, maka peluang terjadinya La Nina mencapai 60%. Dampak yang mungkin terjadi dengan munculnya anomali cuaca ini adalah musim hujan yang lebih awal dari rata-rata di beberapa wilayah. Curah hujan di musim kemarau lalu dan musim hujan ini akan cenderung normal dan di atas normal.
Sementara di Jakarta, umumnya banjir terjadi pada bulan Januari dan Februari pada saat puncak curah hujan. Namun, dengan adanya pengaruh La Nina pada musim hujan ini, Sri Diharto memprakirakan ancaman banjir kemungkinan terjadi sekitar Desember dan Januari 1998.
Sementara, beberapa ilmuwan, seperti dikutip Time, 20 April 1998, menyatakan pada 1998 dapat disaksikan La Nina yang kuat luar biasa, dan Asia sedang mempersiapkan diri untuk menghadapi dampak buruknya. Di Indonesia, para pakar meteorologi percaya, ketika hujan sangat lebat jatuh ke tanah hutan yang hangus terbakar, hujan itu dapat mengakibatkan banjir dalam waktu singkat, erosi tanah, dan penipisan jumlah ikan saat abu beracun merembes ke sungai, danau, serta laut.
Bagi masyarakat, cara terbaik mengantisipasi kehadiran La Nina adalah dengan memanfaatkan informasi prakiraan cuaca untuk jangka pendek (jam-jaman hingga harian) dan prakiraan iklim (mingguan, puluhan hari/dasarian, bulanan dan musiman/tahunan). "Biasanya prakiraan jangka pendek lebih tepat. Prakiraan untuk besok biasanya lebih tepat daripada minggu depan. Saya sendiri memprakirakan untuk bulan depan, tidak tahu. Kalau kecenderungannya, saya bisa," aku Paulus.
El Nino dan La Nina
Fenomena alam ini cukup menjadi perbincangan beberapa tahun terakhir. Beberapa bencana alam dalam rentang area yang luas banyak disebut disebabkan ulah fenomena ini. El Nino dan La Nina sesungguhnya adalah kondisi abnormal iklim pada area Samudra Pasifik yang terletak pada daerah ekuatorial. Kedua gejala alam ini mempunyai kondisi anomali yang berbeda, El Nino dicirikan dengan naiknya suhu permukaan laut (warm phase) sedangkan La Nina mempunyai kondisi yang sebaliknya yaitu turunnya suhu permukaan air laut (cold phase) pada area katulistiwa Samudra Pasifik.
El Nino dan La Nina sendiri baru dimasukkan kedalam istilah bahasa ilmiah pada tahun 1997, dalam bahasa asli (Amerika Selatan) La Nina berarti si gadis kecil sedangkan El Nino berarti si buyung kecil. Sesungguhnya fenomena ini sudah berjalan dalam waktu yang panjang, tetapi baru dapat diidentifikasi dalam beberapa tahun terakhir. Selama kurun 78 tahun telah terjadi 23 kali gejala El Nino dan 15 kali La Nina. El Nino sendiri terjadi dengan selang antara 3 sampai 7 tahun.
Dampak yang ditimbulkan oleh anomali alam ini memang cukup luar biasa dalam rentang area yang luas antara lain kekeringan, kekurangan pangan dan banjir. Beberapa bencana kekeringan dan banjir yang terjadi di Indonesia juga disebabkan oleh El Nino atau La Nina. Akan tetapi penelitian lebih lanjut menemukan bahwa tidak semua anomali ini menimbulkan dampak negatif. Sebuah riset menunjukkan bahwa El Nino menurunkan intensitas dan jumlah badai Atlantik dan tornado yang melintasi bagian tengah Amerika Serikat. (edy yuvera:nationalgegraphic dan internet source)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar